komunikasi sebagai ilmu pengetahuan
telah muncul diawal abad 20, melalui kelompok Chicago dan terutama nanti dengan
kemunculan apa yang disebut sebagai administrative research. Melalui kelompok
yang berpusat di Universitas Colombia ini terdapat beberapa figure yang penting
dalam pengembangan ilmu komunikasi ; terutama dengan figure sentral Paul F.
Lazarfeld. Sekalipun penting pula untuk dipahami bahwa kemunculan kajian ilmu
komunikasi pada periode ini tidak dapat dilepaskan pada era dominannya era
propaganda. Figur Wilbur Schramm menjadi penting dalam proses pelembagaan ilmu
komunikasi.
Ada juga yang mengelompokkan bahwa
kajian komunikasi pada awalnya telah dikenal retorika (speech) dan jurnalistik.
Baru kemudian dikenal kemunculan Ilmu Komunikasi. (Ruben, ).
Komunikasi selain sebagai ketrampilan
atau seni juga merupakan fenomena ilmu pengetahuan. Karena ilmu komunikasi
memiliki metode seperti content analysis, uses & gratification, agenda
setting, cultivation analysist, experiments, dan sebagainya. Pendekatan
eksperimen telah dilakukan oleh Carl Hovland yang meneliti mengenai komunikasi
persuasif. Penelitian content analysist telah dilakukan Harold D. Lasswell dan
Bernard Berelson untuk mengkaji propaganda pada dekade 40-an di Amerika.
Penelitian survay telah dilakukan Paul F. Lazarfeld, Elihu Katz, dan sebagainya
yang membuahkan temuan two steps flow of communication.
Bahkan dalam perkembangan lain, misalkan
bila kita merujuk pada mashab interpretatif (lihat John Fiske), kita jumpai
ragam penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotic, ethnografi, dan
sebagainya dari paradigma interpretatif. Misalkan Ien Ang meneliti dengan
pendekatan etnografi dan semiotic mengenai penonton Dallas dengan karyanya yang
terkenal Watching Dallas. James Lull dengan pendekatan etnografi komunikasi
dikalangan penonton televisi. Robert E. Park, dari generasi Chicago School juga
menggunakan penelitian lapangan (field research).
Berdasarkan gambaran diatas kita dapat
mengenali ciri-ciri komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, terutama yang
berkaitan dengan metode penelitiannya. Dari situ tampak bahwa komunikasi
sebagai fenomena ilmu pengetahuan dapat diterima sebagaimana dapat dibuktikan
dengan munculnya jurnal komunikasi, hasil penelitian komunikasi, dan buku-buku
komunikasi.
*
Pembahasan mengenai komunikasi sebagai
ilmu pengetahuan ini akan didekati dari sudut filsafat ilmu pengetahuan.
Berikut ini kita akan mencoba memahami apa hakekat dari filsafat ilmu.
Ilmu Pengetahuan dapat dibedakan dengan
pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui dengan
menggunakan akal sehat. Pengetahuan misalkan informasi dari media massa,
pengalaman pribadi (personal experience), atau mitos-mitos (myth) .
Pengetahuan memiliki sejumlah kelemahan,
seperti sifatnya yang personal, kurang bias berlaku untuk orang banyak, atau
sifatnya yang tertutup seperti mitos-mitos, kebiasaan, dan sebagainya yang
sering kita hadirkan melalui akal sehat (common sense). Karenanya memiliki
keterbatasan dijadikan sandaran berpikir.
Sementara Ilmu Pengetahuan, merupakan
pengetahuan yang sistematis, memiliki metode, dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah . Sistematis artinya tertata, tersusun sebagaimana tampak dalam
bunyi teori dan paradigma / perspektif.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan, maka
menjadi penting membahas tentang proses penyelidikan (inquiry).
Setiap penyelidikan ilmiah memiliki tiga
tahap. Pertama adalah mengajukan pertanyaan. Dalam hal ini tentang sesuatu yang
menarik (interesting) dan penting (significance). Kedua, pengamatan
(observation). Dalam melakukan pengamatan ada beberapa cara yang berbeda
seperti mengamati artefak, mengamati dengan melibatkan diri pada subjek yang
diamati, memberikan perlakuan (treatment) terhadap suatu objek eksperiment,dan
sebagainya. Ketiga, membuat jawaban (constructing answers). Pada bagian ini
sarjana mencoba untuk membatasi, menggambarkan dan menjelaskan, dalam rangka
membuat penilaian (judgments). Disini mengacu sebagai teori.
Suatu penyelidikan kadangkala dipahami
sebagai sesuatu yang berlangsung secara linier. Namun lebih sering,
penyelidikan sesungguhnya suatu proses yang berlangsung secara sirkular.
Perbedaan yang ada dalam proses
penyelidikan, seperti perbedaan dalam mengajukan pertanyaan, perbedaan teknik
dalam pengamatan, dan sebagainya, akan menghasilkan perbedaan teori. Maka
disini menjadi penting untuk memperhatikan mengenai pembagian aliran ilmu
pengetahuan.
Aliran Ilmiah : disini ilmu pengetahuan
bersifat objektif, berlaku universal, dapat direplikasi, empiris, dan
sebagainya.
Aliran Humanistik : disini ilmu
pengetahuan bersifat subjektif, menggambarkan fenomena tertentu yang unik dan
tidak bersifat universa, mencoba untuk memahami subjek yang dikaji,
Aliran Ilmu Sosial : disini menggunakan
metode ilmu eksakta untuk meneliti perilaku manusia. Namun juga menyertakan
pendekatan yang ada didalam aliran humanistik
Maka dalam kontek kajian ilmu
komunikasi, berkaitan dengan aliran diatas adalah ilmu komunikasi menggunakan
baik aliran ilmiah maupun humanistik. Dengan kata lain, Ilmu Komunikasi
merupakan ilmu sosial yang pendekatannya ada yang menggunakan pendekatan
ilmiah, pendekatan humanistik, maupun keduanya.
Ilmu pengetahuan—dengan wujudnya berupa
teori—dapat diibaratkan sebuah belantara hutan belantara namun sudah tertata
dimana dengan memahami paradigmanya kita bisa mengelompokkan. Sebagaimana nanti
akan diuraikan lebih jauh bahwa pengelompokkan atau paradigma ini didasarkan
pada aspek epistemologi, ontologi, dan axiologi. (lihat pembahasan tentang ini
pada hal. )
Pembagian paradigma ini juga berlaku
bagi kajian ilmu komunikasi. Nanti kita akan melihat bagaimana teori-teori
komunikasi yang ada akan mengelompok pada paradigma tertentu.
(--mungkin masukan diatas, ketika awal
membahas kom sbgi ilmu----)Sedangkan memiliki metode artinya ada tata cara
mendapatkannya yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ada yang
disebut sebagai validitas dan reliabilitas dari instrument penelitian. Misalnya
dapat dilakukan uji ulang. Serta dapat dikembangkan lebih lanjut. Itu yang kita
kenal sebagai metode penelitian. Secara umum metode penelitian akan
dikelompokkan dalam kategori metode empiris atau dengan istilah lain penelitian
nomothetic, penelitian etik. Atau lebih popular sebagai penelitian kuantitatif.
Dalam penelitian jenis ini, kegiatan
penelitian dilakukan menggunakan logika berfikir deduktif hipotetik logic. Jadi
dimulai dari penggunaan teori, merumuskan hipotesis, kemudian melakukan
penelitian dalam rangka menguji hipotetis. Prinsip validitas, yaitu berkaitan
dengan seberapa jauh instrument penelitian mampu mengukur realitas yang
sebenarnya (prinsip isomorphis), sedangkan reliabilitas berkaitan dengan
kemampuan alat ukur untuk konsisten, artinya bila digunakan dlaam kesempatan
lain tidak akan ditafsirkan secara berbeda.
Penelitian ragam kedua adalah penelitian
ideografik, penelitian emic, atau popular disebut penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini, kegiatan dilakukan dalam rangka menghasilkan lukisan mendalam
(thick description) mengenai pemaknaan, pengalaman, dan sebagainya yang dialami
subjek yang diteliti secara alamiah. Prinsip validitas disini adalah berkaitan
dengan kemampuan instrument dalam melakukan pengumpulan data. Maka disini
karena penelitian dilakukan oleh manusia sebagai alat pengumpul data maka
prinsip validitas otomatis terpenuhi, bandingkan dengan penelitian nomotetik
dimana instrument dalam bentuk angket, sehingga perlu diuji kemampuannya untuk
mampu mengukur realitas. Sedangkan prinsip reliabilitas berkaitan dengan
konsistensi dari data yang didapat dari subjek penelitian. Disini dapat
ditempuh melalui prinsip triangulasi baik sumber, metode, dan sebagainya.
Karenanya bila memperhatikan aspek
diatas, tampaklah bahwa ilmu Pengetahuan merupakan pengetahuan yang kuat, dapat
dijadikan sandaran berfikir. Karena temuan ilmiah tersedut sudah diakui oleh
komunitas masyarakat ilmiah. Demikianlah sesungguhnya yang berlangsung dalam
masyarakat yang memiliki budaya ilmiah.
Agaknya inilah yang oleh Walter Lippman
diawal abad 20 dalam bukunya The Public Opinion disebutkan sebagai pengetahuan
yang penting bagi pembentukan opini publik berdasarkan hasil kerja Lembaga
Intelejen Rasional Independen. Dalam hal ini adalah lembaga-lembaga penelitian.
Dalam kajian komunikasi misalkan kita mengenal Chicago School, Administrative
Research, Palo Alto, Teknologi Deterministik dari Toronto, Cultural Studies
dari Birminghamm. Bahwa pengetahuan yang dihasilkan kemudian menjadi landasan
dalam memandang realitas. Bahkan dewasa ini dapat kita lihat juga dengan munculnya
lembaga kajian strategis, yang ikut membangun opini publik. Tak terkecuali di
Indonesia, sedang bermunculan juga seperti CSIS, CIDES, The Indonesian
Institute, Freedom Institute, Akbar Tanjung Institute, Soegeng Sarjadi
Syndicate, dan sebagainya.
Jadi, Lippmann menyatakan bahwa kerja
jurnalistik karena karakteristik kerjanya yang tergesa-gesa, tidak mampu
menghasilkan informasi yang secara akurat merepresentasikan realitas. Kerja
jurnalistik cenderung untuk membangun pseudo environment, berupa the picture in
our head. Membangun lingkungan semu, yang justru membuat orang tidak sepenuhnya
menyadari realitas. Inilah yang diatas tadi dikatakan bahwa informasi dari
media massa merupakan suatu pengetahuan.
Ilmu komunikasi bersifat sistematis
karena dalam teorinya tersusun atas preposisi-preposisi, sebagaimana dapat
dilihat dalam bunyi teori dan paradigmanya (Lihat dalam Stephen W. Littlejohn,
John Fiske, Aubrey Fisher, Everret M. Rogers—17/11/5—juga dalam Understanding
Communication Theory). Terdapat pengelompokkan kedalam paradigma seperti
positivistic, interpretative, kritis, atau postmodernism.
Berikut penjelasan mengenai paradigma
ilmu pengetahuan yang dilihat dari sudut filsafat ilmu pengetahuan.
Filsafat Ilmu merupakan suatu pandangan
yang menyeluruh tentang suatu ilmu. Terdapat beberapa konsep penting seperti
aspek ontologi, axiologi, epistemologi. Ontologi mencoba memahami apa yang
disebut realitas (tentang ada), exiologi tentang nilai, dan epistemology
tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan. Setiap teori memiliki ketiga
unsure ini. Konsekuensi dari perbedaan ontology, epistemology, dan axiology
adalah berimbas pada metode penelitian yang dilakukan.
Ilmu Komunikasi merupakan bagian dari
Ilmu Sosial. Dalam Ilmu Sosial dalam tinjauan Filsafat Ilmu Pengetahuan dikenal
terdapatnya paradigma atau perspektif. Yakni positivistik, interpretatif, dan
kritis. Perkembangan kontemporer dalam ilmu sosial mengenalkan tentang
perspektif yang sedang berkembang yaitu postmodernisme. Maka sesungguhnya dalam
mengkaji teori komunikasi akan dapat dikelompokkan ke dalam paradigma atau
perspektif ini.
Masing-masing paradigma ini memiliki
sudut ontologi, epistemologi, dan axiologi yang berbeda. Terdapatnya perbedaan
unsur-unsur filsafat ilmu semacam ini menjadikan adanya perbedaan yang
kadangkala tidak jarang kita temukan adanya kontradiksi satu sama lain. Tapi
sekali lagi, ini menunjukkan bahwa masing-masing teori memiliki kebenarannya
sendiri bergantung pada asumsi ontologi, axiologi, dan epistemologi.
Paradigma positivistik berarti memandang
realitas sebagai sesuatu yang sudah teratur, terpola, dapat diamati, diukur,
dan sebagainya. Pandangan ini sejalan dengan filsafat empiris, bahwa kebenaran
(pengetahuan) ada diluar diri manusia. Kegiatan ilmiah merupakan suatu
penjelajahan dan akan menghasilkan suatu penemuan (discovery) mengenai
hukum-hukum alam itu. Karenanya dalam pandangan positivistik, ilmu pengetahuan
bersifat empiris, kausalitas, universal, objektif, dan semacamnya.
Paradigma interpretatif berarti memandang
realitas sebagai bentukan dari interaksi manusia yang penuh makna (meaningfull
social action). Dengan demikian realitas itu adalah pemaknaan (meaning) dimana
hanya bisa ditafsirkan (verstehen) dan hendak dilukiskan secara mendalam (thick
description). Pandangan ini bersesuaian dengan filsafat rasionalis yang
memandang bahwa individu (manusia) dengan rasionalitasnya mampu menemukan
kebenaran. Bahkan kebenaran itu sendiri sudah ada didalam diri manusia itu,
karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu pengetahuan kemudian
berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan (meaning) tadi maka ilmu
pengetahuan itu tidak bersifat objektif dan tidak pula universal. Ilmu
pengetahuan semata menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok manusia dalam
kontek tertentu.
Paradigma kritis. Paradigma ini berada
diantara paradigma positivistik dan paradigma interpretatif. Dikatakan berada
pada paradigma positivistik karena paradigma kritis mengakui adanya realitas
empiris yang sudah tertata (order), terpola (pattern), dan jadi (fixed) yaitu
berupa kalangan yang kuat dan kalangan yang lemah dimana hubungannya bersifat
konflik dan eksploitatif dari yang kuat atas yang lemah. Sedangkan dikatakan
juga beririsan dengan paradigma interpretatif, karena paradigma kritis sedari
awal sudah menyatakan keberpihakan kepada struktur yang lemah. Bahkan kegiatan
ilmiah sudah diagendakan dalam rangka untuk membela dan melakukan perubahan
secara radikal mengakhiri penguasaan ; serta kritik sosial terhadap kalangan
yang kuat. Karena itulah, paradigma kritis dikatakan bersifat reformis.
Paradigma postmodernisme. Pandangan
paradigma ini menolak paham adanya realitas yang sudah terstruktur, terpola,
sudah jadi, dan sebagainya. Realitas selalu dipahami selalu dalam proses
menjadi, terdapat interaksi yang sangat komplek, pentingnya spontanitas,
identitas, dan sebagainya. Paradigma yang dipandang sebagai sesuatu yang sedang
berlangsung, sedang berproses, dan sebagainya.
*
Suatu paradigma memberi penekanan pada
aspek yang lain dan melalaikan sudut pandang yang lain. Dalam kontek inilah
kita dapat memahami mengenai kenapa ada sejumlah paradigma yang nantinya juga
akan berkaitan dengan perbedaan teori yang ada. Misalkan paradigma positivistic
menekankan pada keharmonisan dan berlangsungnya peran ; tapi tidak
mempersoalkan kesenjangan dan dominasi. Hal inilah yang kemudian mendapat
perhatian dari aliran kritis. Paradigma interpretatif menekankan pada kekhasan
yang ada pada suatu masyarakat dan mampu menyajikan kedalaman data. Sedangkan postmodernisme
dipandang mampu menjelaskan fenomena masyarakat kontemporer atau masyarakat
informasi yang ditandai dengan kehadiran teknologi komunikasi.
Maka harapannya, dengan memahami
unsur-unsur ontologi, axiologi, dan epistemologi ini kita akan dapat memahami
suatu teori dengan tepat. Sehingga pada akhirnya kita pun akan dapat
menggunakan teori secara benar. Sehingga pemikiran yang logis, pemahaman yang
memadai terhadap perbedaan teori, penggunaan yang tepat dalam menganalisis
masalah-masalah komunikasi, akan dapat dimunculkan.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat
dilihat komunikasi sebagai ilmu pengetahuan. Persyaratan keilmuan sudah
dimiliki seperti memiliki metode, berada diparadigma tertentu, bersifat
sistimatis, memiliki teori, dan sebagainya.
Kita mengenal kajian komunikasi dari
tradisi chicago, yang bersifat humanistik. Kajian John Dewey mengenai arti
penting ritual bagi fungsi integrasi masyarakat perkotaan yang heterogen.
Demikian pula penelitian Robert E. Park tentang arti penting suratkabar lokal
bagi integrasi masyarakat perkotaan. Penelitian generasi Chicago menjadi
penting dalam mengajarkan komunikasi sebagai fenomena pemaknaan (meaning).
Sebuah cara pandang yang dapat kita kelompokkan dalam paradigma interpretatif.
Demikian pula karya-karya generasi yang
telah melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Komunikasi. Kajian
generasi ini banyak menyoroti soal propaganda seperti yang dilakukan oleh media
massa. Perhatian diberikan pada seputar bagaimana perubahan sikap yang terjadi
pada diri khalayak akibat diterpa media. Penelitian banyak dilakukan dengan
penelitian yang digolongkan sebagai penelitian empiris kuantitatif. Tidak bisa
dipungkiri paradigma positivistik ini kemudian menjadi dominan sebagaimana
popularnya karya-karya mereka. Sementara paradigma kritis dapat dikenali baik
dari karya-karya sejumlah figur seperti Mills, Chomsky,
Dengan begitu, komunikasi sebagai ilmu
telah dapat diterima. Tidak pula bisa dipungkiri, ilmu komunikasi tergolong
muda. Sekalipun ada pula yang menyebutkan bahwa ilmu komunikasi itu sesuatu
yang sudah tua sejak masa Yunani tapi dirumuskan sebagai ilmu baru sejak decade
PD II.
Dewasa ini penelitian-penelitian
komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang
komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu
komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass
Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The
Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti
Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard
Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon,
McComb, George G. Gebner, dan sebagainya.
Ilmu Komunikasi di Indonesia
Pendidikan komunikasi sebagaimana di
Thailand diawali pada akhir 1950-an (Antoni, 2004). Fokus utama adalah pada
kajian publisistik atau ilmu informasi publik yang asalnya dari Jerman. Ilmu
komunikasi di Indonesia untuk pertama kali diajarkan di UGM pada tahun 1948
dengan nama Ilmu Penerangan. Namun dengan dikenalnya istilah publisistik oleh
Drs. Marbangun Hardjowiroga di Akademi Dinas Luar Negeri Yogyakarta pada tahun
1955 maka mata kuliah Ilmu Penerangan yang tadinya banyak berorientasi pada
ilmu radio diganti nama Publisistik bertepatan dengan berdirinya Jurusan
Publisistik di UGM pada tahun 1955. demikian juga Perguruan Tinggi Jurnalistik
yang didirikan pada tahun 1953 di Jakarta berubah menjadi Sekolah Tinggi
Publisistik.
Pendidikan tinggi publisistik di
Indonesia mulai berkembang pada dekade 1960-an dan 1970-an dengan dibentuknya
Jurusan Publisistik pada sejumlah perguruan tinggi negeri seperti UI (1959),
Unhas (1960), Unpad (1964), Undip (1967), serta beberapa PTS.
Pada tahun 1974, Prof. Dr. Astrid
Susanto Sunario yang ketika itu Dekan Fakultas Publisistik Unpad mewacanakan
tentang pandangan Schelsk bahwa komunikasi lebih luas daripada publisistik.
Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah
figur penting seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis,
Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N.
Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya.
Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi
di Indonesia.