Navigation


RSS : Articles / Comments


Definisi Komunikasi

2:22 AM, Posted by By Communicator 12, No Comment


komunikasi sebagai ilmu pengetahuan telah muncul diawal abad 20, melalui kelompok Chicago dan terutama nanti dengan kemunculan apa yang disebut sebagai administrative research. Melalui kelompok yang berpusat di Universitas Colombia ini terdapat beberapa figure yang penting dalam pengembangan ilmu komunikasi ; terutama dengan figure sentral Paul F. Lazarfeld. Sekalipun penting pula untuk dipahami bahwa kemunculan kajian ilmu komunikasi pada periode ini tidak dapat dilepaskan pada era dominannya era propaganda. Figur Wilbur Schramm menjadi penting dalam proses pelembagaan ilmu komunikasi.
Ada juga yang mengelompokkan bahwa kajian komunikasi pada awalnya telah dikenal retorika (speech) dan jurnalistik. Baru kemudian dikenal kemunculan Ilmu Komunikasi. (Ruben, ).
Komunikasi selain sebagai ketrampilan atau seni juga merupakan fenomena ilmu pengetahuan. Karena ilmu komunikasi memiliki metode seperti content analysis, uses & gratification, agenda setting, cultivation analysist, experiments, dan sebagainya. Pendekatan eksperimen telah dilakukan oleh Carl Hovland yang meneliti mengenai komunikasi persuasif. Penelitian content analysist telah dilakukan Harold D. Lasswell dan Bernard Berelson untuk mengkaji propaganda pada dekade 40-an di Amerika. Penelitian survay telah dilakukan Paul F. Lazarfeld, Elihu Katz, dan sebagainya yang membuahkan temuan two steps flow of communication.
Bahkan dalam perkembangan lain, misalkan bila kita merujuk pada mashab interpretatif (lihat John Fiske), kita jumpai ragam penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotic, ethnografi, dan sebagainya dari paradigma interpretatif. Misalkan Ien Ang meneliti dengan pendekatan etnografi dan semiotic mengenai penonton Dallas dengan karyanya yang terkenal Watching Dallas. James Lull dengan pendekatan etnografi komunikasi dikalangan penonton televisi. Robert E. Park, dari generasi Chicago School juga menggunakan penelitian lapangan (field research).
Berdasarkan gambaran diatas kita dapat mengenali ciri-ciri komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan metode penelitiannya. Dari situ tampak bahwa komunikasi sebagai fenomena ilmu pengetahuan dapat diterima sebagaimana dapat dibuktikan dengan munculnya jurnal komunikasi, hasil penelitian komunikasi, dan buku-buku komunikasi.
*
Pembahasan mengenai komunikasi sebagai ilmu pengetahuan ini akan didekati dari sudut filsafat ilmu pengetahuan. Berikut ini kita akan mencoba memahami apa hakekat dari filsafat ilmu.
Ilmu Pengetahuan dapat dibedakan dengan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui dengan menggunakan akal sehat. Pengetahuan misalkan informasi dari media massa, pengalaman pribadi (personal experience), atau mitos-mitos (myth) .
Pengetahuan memiliki sejumlah kelemahan, seperti sifatnya yang personal, kurang bias berlaku untuk orang banyak, atau sifatnya yang tertutup seperti mitos-mitos, kebiasaan, dan sebagainya yang sering kita hadirkan melalui akal sehat (common sense). Karenanya memiliki keterbatasan dijadikan sandaran berpikir.
Sementara Ilmu Pengetahuan, merupakan pengetahuan yang sistematis, memiliki metode, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah . Sistematis artinya tertata, tersusun sebagaimana tampak dalam bunyi teori dan paradigma / perspektif.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan, maka menjadi penting membahas tentang proses penyelidikan (inquiry).
Setiap penyelidikan ilmiah memiliki tiga tahap. Pertama adalah mengajukan pertanyaan. Dalam hal ini tentang sesuatu yang menarik (interesting) dan penting (significance). Kedua, pengamatan (observation). Dalam melakukan pengamatan ada beberapa cara yang berbeda seperti mengamati artefak, mengamati dengan melibatkan diri pada subjek yang diamati, memberikan perlakuan (treatment) terhadap suatu objek eksperiment,dan sebagainya. Ketiga, membuat jawaban (constructing answers). Pada bagian ini sarjana mencoba untuk membatasi, menggambarkan dan menjelaskan, dalam rangka membuat penilaian (judgments). Disini mengacu sebagai teori.
Suatu penyelidikan kadangkala dipahami sebagai sesuatu yang berlangsung secara linier. Namun lebih sering, penyelidikan sesungguhnya suatu proses yang berlangsung secara sirkular.
Perbedaan yang ada dalam proses penyelidikan, seperti perbedaan dalam mengajukan pertanyaan, perbedaan teknik dalam pengamatan, dan sebagainya, akan menghasilkan perbedaan teori. Maka disini menjadi penting untuk memperhatikan mengenai pembagian aliran ilmu pengetahuan.
Aliran Ilmiah : disini ilmu pengetahuan bersifat objektif, berlaku universal, dapat direplikasi, empiris, dan sebagainya.
Aliran Humanistik : disini ilmu pengetahuan bersifat subjektif, menggambarkan fenomena tertentu yang unik dan tidak bersifat universa, mencoba untuk memahami subjek yang dikaji,
Aliran Ilmu Sosial : disini menggunakan metode ilmu eksakta untuk meneliti perilaku manusia. Namun juga menyertakan pendekatan yang ada didalam aliran humanistik
Maka dalam kontek kajian ilmu komunikasi, berkaitan dengan aliran diatas adalah ilmu komunikasi menggunakan baik aliran ilmiah maupun humanistik. Dengan kata lain, Ilmu Komunikasi merupakan ilmu sosial yang pendekatannya ada yang menggunakan pendekatan ilmiah, pendekatan humanistik, maupun keduanya.
Ilmu pengetahuan—dengan wujudnya berupa teori—dapat diibaratkan sebuah belantara hutan belantara namun sudah tertata dimana dengan memahami paradigmanya kita bisa mengelompokkan. Sebagaimana nanti akan diuraikan lebih jauh bahwa pengelompokkan atau paradigma ini didasarkan pada aspek epistemologi, ontologi, dan axiologi. (lihat pembahasan tentang ini pada hal. )
Pembagian paradigma ini juga berlaku bagi kajian ilmu komunikasi. Nanti kita akan melihat bagaimana teori-teori komunikasi yang ada akan mengelompok pada paradigma tertentu.
(--mungkin masukan diatas, ketika awal membahas kom sbgi ilmu----)Sedangkan memiliki metode artinya ada tata cara mendapatkannya yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ada yang disebut sebagai validitas dan reliabilitas dari instrument penelitian. Misalnya dapat dilakukan uji ulang. Serta dapat dikembangkan lebih lanjut. Itu yang kita kenal sebagai metode penelitian. Secara umum metode penelitian akan dikelompokkan dalam kategori metode empiris atau dengan istilah lain penelitian nomothetic, penelitian etik. Atau lebih popular sebagai penelitian kuantitatif.
Dalam penelitian jenis ini, kegiatan penelitian dilakukan menggunakan logika berfikir deduktif hipotetik logic. Jadi dimulai dari penggunaan teori, merumuskan hipotesis, kemudian melakukan penelitian dalam rangka menguji hipotetis. Prinsip validitas, yaitu berkaitan dengan seberapa jauh instrument penelitian mampu mengukur realitas yang sebenarnya (prinsip isomorphis), sedangkan reliabilitas berkaitan dengan kemampuan alat ukur untuk konsisten, artinya bila digunakan dlaam kesempatan lain tidak akan ditafsirkan secara berbeda.
Penelitian ragam kedua adalah penelitian ideografik, penelitian emic, atau popular disebut penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, kegiatan dilakukan dalam rangka menghasilkan lukisan mendalam (thick description) mengenai pemaknaan, pengalaman, dan sebagainya yang dialami subjek yang diteliti secara alamiah. Prinsip validitas disini adalah berkaitan dengan kemampuan instrument dalam melakukan pengumpulan data. Maka disini karena penelitian dilakukan oleh manusia sebagai alat pengumpul data maka prinsip validitas otomatis terpenuhi, bandingkan dengan penelitian nomotetik dimana instrument dalam bentuk angket, sehingga perlu diuji kemampuannya untuk mampu mengukur realitas. Sedangkan prinsip reliabilitas berkaitan dengan konsistensi dari data yang didapat dari subjek penelitian. Disini dapat ditempuh melalui prinsip triangulasi baik sumber, metode, dan sebagainya.
Karenanya bila memperhatikan aspek diatas, tampaklah bahwa ilmu Pengetahuan merupakan pengetahuan yang kuat, dapat dijadikan sandaran berfikir. Karena temuan ilmiah tersedut sudah diakui oleh komunitas masyarakat ilmiah. Demikianlah sesungguhnya yang berlangsung dalam masyarakat yang memiliki budaya ilmiah.
Agaknya inilah yang oleh Walter Lippman diawal abad 20 dalam bukunya The Public Opinion disebutkan sebagai pengetahuan yang penting bagi pembentukan opini publik berdasarkan hasil kerja Lembaga Intelejen Rasional Independen. Dalam hal ini adalah lembaga-lembaga penelitian. Dalam kajian komunikasi misalkan kita mengenal Chicago School, Administrative Research, Palo Alto, Teknologi Deterministik dari Toronto, Cultural Studies dari Birminghamm. Bahwa pengetahuan yang dihasilkan kemudian menjadi landasan dalam memandang realitas. Bahkan dewasa ini dapat kita lihat juga dengan munculnya lembaga kajian strategis, yang ikut membangun opini publik. Tak terkecuali di Indonesia, sedang bermunculan juga seperti CSIS, CIDES, The Indonesian Institute, Freedom Institute, Akbar Tanjung Institute, Soegeng Sarjadi Syndicate, dan sebagainya.
Jadi, Lippmann menyatakan bahwa kerja jurnalistik karena karakteristik kerjanya yang tergesa-gesa, tidak mampu menghasilkan informasi yang secara akurat merepresentasikan realitas. Kerja jurnalistik cenderung untuk membangun pseudo environment, berupa the picture in our head. Membangun lingkungan semu, yang justru membuat orang tidak sepenuhnya menyadari realitas. Inilah yang diatas tadi dikatakan bahwa informasi dari media massa merupakan suatu pengetahuan.
Ilmu komunikasi bersifat sistematis karena dalam teorinya tersusun atas preposisi-preposisi, sebagaimana dapat dilihat dalam bunyi teori dan paradigmanya (Lihat dalam Stephen W. Littlejohn, John Fiske, Aubrey Fisher, Everret M. Rogers—17/11/5—juga dalam Understanding Communication Theory). Terdapat pengelompokkan kedalam paradigma seperti positivistic, interpretative, kritis, atau postmodernism.
Berikut penjelasan mengenai paradigma ilmu pengetahuan yang dilihat dari sudut filsafat ilmu pengetahuan.
Filsafat Ilmu merupakan suatu pandangan yang menyeluruh tentang suatu ilmu. Terdapat beberapa konsep penting seperti aspek ontologi, axiologi, epistemologi. Ontologi mencoba memahami apa yang disebut realitas (tentang ada), exiologi tentang nilai, dan epistemology tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan. Setiap teori memiliki ketiga unsure ini. Konsekuensi dari perbedaan ontology, epistemology, dan axiology adalah berimbas pada metode penelitian yang dilakukan.
Ilmu Komunikasi merupakan bagian dari Ilmu Sosial. Dalam Ilmu Sosial dalam tinjauan Filsafat Ilmu Pengetahuan dikenal terdapatnya paradigma atau perspektif. Yakni positivistik, interpretatif, dan kritis. Perkembangan kontemporer dalam ilmu sosial mengenalkan tentang perspektif yang sedang berkembang yaitu postmodernisme. Maka sesungguhnya dalam mengkaji teori komunikasi akan dapat dikelompokkan ke dalam paradigma atau perspektif ini.
Masing-masing paradigma ini memiliki sudut ontologi, epistemologi, dan axiologi yang berbeda. Terdapatnya perbedaan unsur-unsur filsafat ilmu semacam ini menjadikan adanya perbedaan yang kadangkala tidak jarang kita temukan adanya kontradiksi satu sama lain. Tapi sekali lagi, ini menunjukkan bahwa masing-masing teori memiliki kebenarannya sendiri bergantung pada asumsi ontologi, axiologi, dan epistemologi.
Paradigma positivistik berarti memandang realitas sebagai sesuatu yang sudah teratur, terpola, dapat diamati, diukur, dan sebagainya. Pandangan ini sejalan dengan filsafat empiris, bahwa kebenaran (pengetahuan) ada diluar diri manusia. Kegiatan ilmiah merupakan suatu penjelajahan dan akan menghasilkan suatu penemuan (discovery) mengenai hukum-hukum alam itu. Karenanya dalam pandangan positivistik, ilmu pengetahuan bersifat empiris, kausalitas, universal, objektif, dan semacamnya.
Paradigma interpretatif berarti memandang realitas sebagai bentukan dari interaksi manusia yang penuh makna (meaningfull social action). Dengan demikian realitas itu adalah pemaknaan (meaning) dimana hanya bisa ditafsirkan (verstehen) dan hendak dilukiskan secara mendalam (thick description). Pandangan ini bersesuaian dengan filsafat rasionalis yang memandang bahwa individu (manusia) dengan rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran. Bahkan kebenaran itu sendiri sudah ada didalam diri manusia itu, karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu pengetahuan kemudian berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan (meaning) tadi maka ilmu pengetahuan itu tidak bersifat objektif dan tidak pula universal. Ilmu pengetahuan semata menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok manusia dalam kontek tertentu.
Paradigma kritis. Paradigma ini berada diantara paradigma positivistik dan paradigma interpretatif. Dikatakan berada pada paradigma positivistik karena paradigma kritis mengakui adanya realitas empiris yang sudah tertata (order), terpola (pattern), dan jadi (fixed) yaitu berupa kalangan yang kuat dan kalangan yang lemah dimana hubungannya bersifat konflik dan eksploitatif dari yang kuat atas yang lemah. Sedangkan dikatakan juga beririsan dengan paradigma interpretatif, karena paradigma kritis sedari awal sudah menyatakan keberpihakan kepada struktur yang lemah. Bahkan kegiatan ilmiah sudah diagendakan dalam rangka untuk membela dan melakukan perubahan secara radikal mengakhiri penguasaan ; serta kritik sosial terhadap kalangan yang kuat. Karena itulah, paradigma kritis dikatakan bersifat reformis.
Paradigma postmodernisme. Pandangan paradigma ini menolak paham adanya realitas yang sudah terstruktur, terpola, sudah jadi, dan sebagainya. Realitas selalu dipahami selalu dalam proses menjadi, terdapat interaksi yang sangat komplek, pentingnya spontanitas, identitas, dan sebagainya. Paradigma yang dipandang sebagai sesuatu yang sedang berlangsung, sedang berproses, dan sebagainya.
*
Suatu paradigma memberi penekanan pada aspek yang lain dan melalaikan sudut pandang yang lain. Dalam kontek inilah kita dapat memahami mengenai kenapa ada sejumlah paradigma yang nantinya juga akan berkaitan dengan perbedaan teori yang ada. Misalkan paradigma positivistic menekankan pada keharmonisan dan berlangsungnya peran ; tapi tidak mempersoalkan kesenjangan dan dominasi. Hal inilah yang kemudian mendapat perhatian dari aliran kritis. Paradigma interpretatif menekankan pada kekhasan yang ada pada suatu masyarakat dan mampu menyajikan kedalaman data. Sedangkan postmodernisme dipandang mampu menjelaskan fenomena masyarakat kontemporer atau masyarakat informasi yang ditandai dengan kehadiran teknologi komunikasi.
Maka harapannya, dengan memahami unsur-unsur ontologi, axiologi, dan epistemologi ini kita akan dapat memahami suatu teori dengan tepat. Sehingga pada akhirnya kita pun akan dapat menggunakan teori secara benar. Sehingga pemikiran yang logis, pemahaman yang memadai terhadap perbedaan teori, penggunaan yang tepat dalam menganalisis masalah-masalah komunikasi, akan dapat dimunculkan.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat komunikasi sebagai ilmu pengetahuan. Persyaratan keilmuan sudah dimiliki seperti memiliki metode, berada diparadigma tertentu, bersifat sistimatis, memiliki teori, dan sebagainya.
Kita mengenal kajian komunikasi dari tradisi chicago, yang bersifat humanistik. Kajian John Dewey mengenai arti penting ritual bagi fungsi integrasi masyarakat perkotaan yang heterogen. Demikian pula penelitian Robert E. Park tentang arti penting suratkabar lokal bagi integrasi masyarakat perkotaan. Penelitian generasi Chicago menjadi penting dalam mengajarkan komunikasi sebagai fenomena pemaknaan (meaning). Sebuah cara pandang yang dapat kita kelompokkan dalam paradigma interpretatif.
Demikian pula karya-karya generasi yang telah melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Komunikasi. Kajian generasi ini banyak menyoroti soal propaganda seperti yang dilakukan oleh media massa. Perhatian diberikan pada seputar bagaimana perubahan sikap yang terjadi pada diri khalayak akibat diterpa media. Penelitian banyak dilakukan dengan penelitian yang digolongkan sebagai penelitian empiris kuantitatif. Tidak bisa dipungkiri paradigma positivistik ini kemudian menjadi dominan sebagaimana popularnya karya-karya mereka. Sementara paradigma kritis dapat dikenali baik dari karya-karya sejumlah figur seperti Mills, Chomsky,
Dengan begitu, komunikasi sebagai ilmu telah dapat diterima. Tidak pula bisa dipungkiri, ilmu komunikasi tergolong muda. Sekalipun ada pula yang menyebutkan bahwa ilmu komunikasi itu sesuatu yang sudah tua sejak masa Yunani tapi dirumuskan sebagai ilmu baru sejak decade PD II.
Dewasa ini penelitian-penelitian komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, McComb, George G. Gebner, dan sebagainya.
Ilmu Komunikasi di Indonesia
Pendidikan komunikasi sebagaimana di Thailand diawali pada akhir 1950-an (Antoni, 2004). Fokus utama adalah pada kajian publisistik atau ilmu informasi publik yang asalnya dari Jerman. Ilmu komunikasi di Indonesia untuk pertama kali diajarkan di UGM pada tahun 1948 dengan nama Ilmu Penerangan. Namun dengan dikenalnya istilah publisistik oleh Drs. Marbangun Hardjowiroga di Akademi Dinas Luar Negeri Yogyakarta pada tahun 1955 maka mata kuliah Ilmu Penerangan yang tadinya banyak berorientasi pada ilmu radio diganti nama Publisistik bertepatan dengan berdirinya Jurusan Publisistik di UGM pada tahun 1955. demikian juga Perguruan Tinggi Jurnalistik yang didirikan pada tahun 1953 di Jakarta berubah menjadi Sekolah Tinggi Publisistik.
Pendidikan tinggi publisistik di Indonesia mulai berkembang pada dekade 1960-an dan 1970-an dengan dibentuknya Jurusan Publisistik pada sejumlah perguruan tinggi negeri seperti UI (1959), Unhas (1960), Unpad (1964), Undip (1967), serta beberapa PTS.
Pada tahun 1974, Prof. Dr. Astrid Susanto Sunario yang ketika itu Dekan Fakultas Publisistik Unpad mewacanakan tentang pandangan Schelsk bahwa komunikasi lebih luas daripada publisistik.
Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah figur penting seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.

No Comment